SRAGEN —||
Aktivitas pertambangan kerikil berpasir alami (sirtu) di wilayah Desa Sambirembe, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini menjadi sorotan tajam warga. Penolakan terbuka mencuat bukan semata karena aktivitas tambang, melainkan karena mekanisme operasional yang dinilai menyimpang, minim transparansi, serta dugaan kuat perambahan tanah kas desa.
Hasil penelusuran tim investigasi media di lapangan menemukan fakta bahwa aktivitas tambang telah berjalan terlebih dahulu sebelum adanya sosialisasi kepada masyarakat. Sejumlah warga yang ditemui mengaku tidak pernah dilibatkan, diajak musyawarah, ataupun diberi penjelasan resmi sebelum alat berat masuk ke lokasi dan material diangkut keluar desa.
“Kami tidak pernah diajak bicara. Tahu-tahu alat berat sudah kerja. Sosialisasi malah katanya dilakukan setelah tambang jalan. Ini terbalik,” ungkap salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kondisi ini memicu pertanyaan mendasar dari masyarakat: jika izin benar-benar sah dan prosedural, mengapa tahapan sosial justru diabaikan?
Warga menilai izin yang ditunjukkan pihak penambang justru digunakan sebagai tameng pembenaran setelah aktivitas berjalan, bukan sebagai dasar dialog dan persetujuan awal.
Beberapa warga menyebut pihak penambang baru mendatangi masyarakat dengan membawa dokumen izin setelah muncul penolakan dan kegaduhan di tingkat desa.
Persoalan semakin serius ketika warga mengungkap dugaan bahwa area yang ditambang mencakup tanah kas desa, khususnya lahan yang berdekatan dengan aliran sungai. Penggalian diduga dilakukan tanpa rembug desa, tanpa persetujuan resmi pemerintah desa, serta tanpa keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
“Tanah kas desa itu aset desa. Tidak bisa main keruk begitu saja. Tidak pernah ada musyawarah,” tegas warga lainnya.
Dalih penambang yang menyebut penggalian dilakukan karena sungai mengalami pendangkalan dinilai tidak masuk akal. Warga menegaskan, apa pun alasannya, tanah kas desa bukan objek yang bisa disentuh sepihak tanpa mekanisme hukum yang jelas.
Menurut pengakuan warga, material yang diangkut dari lokasi tambang diperkirakan mencapai sekitar 30 rit. Material tersebut tidak hanya berupa kerikil berpasir alami (sirtu), namun juga tanah urug, pasir, dan batu.
Fakta ini bertolak belakang dengan papan informasi izin di lokasi, yang hanya mencantumkan komoditas sirtu. Kondisi ini memunculkan dugaan kuat bahwa praktik di lapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan izin yang dikantongi.
Warga juga menyebut sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam aktivitas pertambangan tersebut. Disebutkan adanya pemodal berinisial By, warga Banyuanyar, Solo, serta inisial DD warga Sragen, yang menurut keterangan warga juga menjabat sebagai ketua organisasi dan diduga berperan sebagai penanggung jawab lapangan.
Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak-pihak yang disebutkan tersebut.
Berdasarkan papan informasi di lokasi, izin pertambangan tercatat atas nama CV Dumilah Bumi Mandiri. Meski demikian, keberadaan papan izin tersebut dinilai tidak menjawab persoalan krusial,
Warga mengungkapkan bahwa situasi sempat memanas. Pihak penambang disebut sempat menjanjikan akan duduk bersama masyarakat untuk menyelesaikan persoalan. Namun hingga kini, janji tersebut tak pernah berujung pada kejelasan.
“Katanya mau dibahas bersama, tapi sampai sekarang tidak ada keputusan, tidak ada penjelasan,” kata warga.
Keterangan Petugas Lapangan: Banyak Kejanggalan
Saat tim investigasi media mendatangi lokasi, pemilik dan penanggung jawab utama tidak berada di tempat. Hanya terdapat petugas lapangan yang memberikan keterangan terbatas.
Petugas menyebut bahwa lahan seluas kurang lebih 29,53 hektare tersebut memiliki izin sirtu, namun pernyataan tersebut justru memunculkan kejanggalan baru. Petugas juga menyebut adanya proyek reklamasi dan kegiatan pengurukan material, tanpa disertai dokumen pendukung yang dapat diverifikasi di lapangan.
Terkait dugaan perambahan tanah kas desa, petugas lapangan mengklaim bahwa lahan kas desa tidak ikut dikeruk. Namun klaim ini berbanding terbalik dengan keterangan warga dan kondisi fisik di sekitar lokasi.
Konfirmasi ke Pemerintah Desa Buntu
Upaya konfirmasi kepada kepala desa setempat juga menemui jalan buntu. Saat didatangi, kepala desa (lurah) disebut sedang libur, dan hingga berita ini diturunkan tidak memberikan balasan atas pesan singkat awak media.
Sejumlah regulasi yang berpotensi dilanggar dalam kasus ini antara lain:
UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 158: Penambangan tanpa izin atau di luar izin dapat dipidana hingga 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar.
Pasal 160 ayat (2): Pemegang izin yang beroperasi tidak sesuai ketentuan dapat dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 76 dan 77: Tanah kas desa merupakan aset desa yang pengelolaannya wajib melalui mekanisme persetujuan desa.
Permendagri No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa
Pemanfaatan tanah kas desa wajib melalui musyawarah desa serta persetujuan kepala desa dan BPD.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Penggalian di sekitar sungai tanpa izin dan kajian lingkungan berpotensi melanggar hukum lingkungan.
Kasus tambang sirtu di Kecamatan Kalijambe ini menegaskan satu hal penting: izin administratif bukan cek kosong. Legalitas di atas kertas tidak menghapus kewajiban sosial, tidak meniadakan persetujuan desa, dan tidak membenarkan pengambilan aset desa secara sepihak.
Tanpa pengawasan tegas dari instansi terkait, tambang yang mengantongi izin pun berpotensi berubah menjadi praktik yang menyimpang dan merugikan masyarakat desa.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak perusahaan, pemerintah desa, maupun instansi teknis terkait belum memberikan keterangan resmi. Tim investigasi media akan terus menelusuri dan membuka ruang klarifikasi bagi seluruh pihak yang disebut dalam pemberitaan ini
R



